Minggu, 07 Agustus 2011

PERPUSTAKAAN & TBM MATI SURI

TBM Al-Iqra, 7 Agustus 2011. Perpustakaan atau TBM atau perpustakaan kecil saja dikelola neka-neka, kok mempersulit diri. "MEREMEHKAN". Sering orang, termasuk di kalangan para pendidik sendiri meremehkan terhadap keberadaan dan pengelolaan perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Karena 'meremehkan' itulah yang nampaknya menjadikan keberadaan perpustakaan, termasuk perpustakaan sekolah dan TBM seperti 'mati suri.' Ironisnya, secara pengetahuan yang meyakinkan mereka mengerti dan memahami terhadap pungsi dan peran perpustakaan atau TBM. Sebaliknya, pernyataan meremehkan tersebut jelas sekali bertolak belakang dengan peran dan tugas profesinya.
Tentang manfaat perpustakaan atau TBM, sebagaimana dikemukakan oleh James Thompson, bahwa perpustakaan (termasuk TBM) adalah sebagai sumber kekuatan, kekuatan ini berasal dari kenyataan bahwa perpustakaan adalah wadah ilmu pengetahuan dan 'the repositoris' dari rekaman prestasi dan penemuan kemanusiaan.
Perpustakaan/TBM melindungi dan menyampaikan kebudayaan kita. Mereka 'underpin' pendidikan, baik perorangan maupun formal. Perpustakaan berkaitan erat dengan kecerdasan, budaya, dan kreatifitas. Perpustakaan adalah salah satu alat yang memiliki kekuatan potensi untuk perubahan sosial, politik, dan sebagai pelindung 'kebebasan berpikir sekaligus sebagai benteng kemerdekaan.'
Dikemukakan Thompson, peranan perpustakaan /TBM pada pendidikan terletak pada 'tenaganya.' "The role of libraries in education is a further manifestation of their power." Tanpa diragukan oleh siapa pun, bahwa perpustakaan/TBM memiliki tenaga yang luar biasa dalam membantu berhasilnya pendidikan.
Dari kultur pemahaman yang demikian itu telah menjadikan beberapa bangsa di beberapa belahan bumi, utamanya Eropa dan Amerika secara tepat memaksimalkan peran 'tenaga' perpustakaan/TBM tersebut. Sekolah-sekolah di negeri-negeri tersebut secara terencana secara matang memiliki perpustakaan. Dan mereka membanggakannya. Kultur mereka yang demikian terhadap perpustakaan itu telah menjadikan mereka sebagai bangsa yang maju.
Pada konteks ini, bagaimana dengan kultur kita? Selain masih ada yang meremehkan pada level pelaksanaan di lapangan, namun dari sisi pondasi dan konsep-konsep yang ada atau yang ditawarkan, dalam hal ini oleh pemerintah cukup kuat dan baik. Di lapangan banyak sekolah, terutama sekolah swasta yang telah mampu menyelenggarakan perpustakaan dengan lebih baik bila dibanding dengan sekolah-sekolah negeri. Perbedaan yang sebenarnya cukup lebar itu, berdasarkan dari berbagai penelitian dan pengamatan Drs. RS Hendra Dinama, seorang penatar bidang perpustakaan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur menengarai "Anggaran" sebagai sumber utamanya.
Dalam hal ini, anggaran yang disediakan oleh sekolah swasta untuk perpustakaan lebih mampu dan lebih operasional. Hal itu tidaklah demikian di sekolah negeri. Hal anggaran, termasuk anggaran untuk perpustakaan di sekolah negeri, sampai saat ini pun masih sebagai bagian dari masalah dari keseluruhan operasional lembaga, walau di situ ada BOS BUKU. Satu ilustrasi demikian: bila perpustakaan di sekolah swasta telah memiliki anggaran tersendiri untuk membeli 10 judul buku per bulan, tidaklah demikian dengan perpustakaan di sekolah negeri. Posisi mereka dalam hal ini pada umumnya baru pada kalimat pertanyaan "dari mana uangnya?" Walau pun di BOS ada ketentuan sekitar 5% dari anggaran BOS yang mereka terima sebagai bahan bakar operasional sekolah untuk perpustakaan. Yang sering terjadi pula, nilai 5% itupun kadang dimainkan peruntukannya.
Bagaimana dengan TBM?
Seperti peribahasa "Jauh Panggang Dari Api." Keadaan TBM lebih memprihatinkan. TBM itu singkatan dari Taman Bacaan Masyarakat. Program itu digulirkan oleh pihak Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS)=Non Formal Depdiknas/Kemendiknas dengan maksud untuk mendukung program yang berkaitan dengan upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, program-program tersebut melakukan penyesuaian-penyesuaian yang kemudian mencuatkan program seperti Keaksaraan (untuk buta huruf), Kesetaraan (seperti Kejar Paket A s.d. Kejar Paket C), PAUD, dan program pemberdayaan seperti kursus dan lifeskill. Di lapangan, sesuai norma non formal, program-program tersebut selanjutnya dikondisikan diselenggarakan oleh masyarakat, diantaranya dalam bentuk konsentrasi kegiatan program berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Dengan dana operasional yang diberikan dalam bentuk blockgrand, PKBM pun tumbuh menjamur di tiap dusun dan desa.
Menurut Drs Hendra Dinama, program tersebut bagus, namun sayangnya lembaga-lembaga PKBM tersebut, pada perkembangan selanjutnya dan sampai saat ini belum mampu menjadi lembaga pendidikan yang dicintai masyarakat miskin, walau GRATIS TOTAL. Anak-anak usia sekolah dari warga miskin nampaknya bergaya gengsi. Mereka lebih suka menyerbu untuk masuk ke sekolah negeri. Dari berbagai kasus yang ada "warga miskin' malu sekolah di Kejar Paket!
Kembali tentang TBM. Sebagai strategi awal, agar TBM tumbuh berkembang menjamur di masyarakat, maka, seperti untuk menghidupkan PKBM, pemerintah pun menyuntikkan dana blockgrand untuk TBM dengan nilai beragam antara Rp. 15-50 juta, bahkan ada yang lebih dari nilai itu. Hitung-hitung, bila di tiap desa terdapat 3-5 TBM betapa besar jumlah anggaran yang disediakannya. Untunglah, perhitungannya tidak demikian sederhana, namun mengikuti pola kuota dan penilaian kelayakan.
Seperti pun konsepnya dan bagaimana pun pelaksanaanya, penyelenggaraan TBM di masyarakat merupakan suatu hal yang baik, namun akan menjadi suatu keprihatinan manakala keperadaan TBM ditentukan oleh adanya bantuan uang blockgrand semata. Lepas dari berbagai kasus rekayasa untuk melahirkan suatu TBM baru yang seakan telah berdiri minimal 2 tahun, yang jelas tiap dana blockgrand bergulir, TBM pun tumbuh menjamur di dusun-dusun, di pojok-pojok desa. Sayangnya, seirama dengan habisnya dana blockgrand, karena alokasi waktu penggunaan dana yang ditargetkan, maka dinamika TBM pun, seirama sang waktu juga menurun. Diantara TBM-TBM itu sebagian lagi tutup, dan yang terbanyak "tidak hidup, tidak pula mati," itulah mati suri. @ Inoe Setyoko